Wednesday, December 14, 2011

Mafia Berkeley -- > Neolib -- > Failed State

Hampir setengah abad lebih, kebijakan ekonomi negeri ini ditentukan oleh sebuah kekuatan yang disebut Mafia Berkeley. Sejak 1996, kelompok ini menjadi penentu arah ekonomi Indonesia. Enam kali sudah pergantian rezim, Mafia Berkeley tetap eksis bahkan semakin ekspansif.

Ketika Soeharto naik ketampuk kekuasaan, ia menyerahkan urusan ekonomi kepada sekelompok pakar ekonomi tamatan Universitas Berkeley. Kelompok ini disebut Mafia Berkeley. Istilah Mafia Berkeley pertama kali dicetuskan oleh seorang aktivis-penulis 'kiri' AS, David Ransom, dalam sebuah majalah bernama Ramparts, edisi 4 tahun 1970. Disebut Mafia karena kelompok ini bekerja secara terorganisasi atas order pihak lain yang bertujuan menghancurkan ekonomi Indonesia.Pihak lain itu adalah negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, dengan menggunakan lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan IMF.

Sebagian besar dari menteri-menteri yang dituduh sebagai Mafia Berkeley adalah lulusan doktor atau master dari University of California at Berkeley di tahun 1960-an atas bantuan Ford Foundation. Para menteri tersebut sekembalinya dari Amerika Serikat mengajar di Universitas Indonesia. Pemimpin tidak resmi dari kelompok ini ialah Widjojo Nitisastro. Para anggotanya antara lain Emil Salim, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Dorodjatun Koentjoro-Jakti yang lulus belakangan dari Berkeley kadang-kadang juga dimasukkan sebagai anggota kelompok ini. Yang terakhir ramai dibicarakan sebagi penerus ideologi Mafia Berkeley adalah Boediono, Sri Mulyani dan Mari Pangestu.

Ekonom dan teknokrat yang tergolong Mafia Berkeley adalah mereka yang tercekoki paham ekonomi neoklasik. Menyerahkan sepenuhnya ekonomi pada mekanisme pasar, dan kurang patriotik. Mafia Berekely mendapat mandat untuk mengamankan kebijakan yang diputuskan Konsensus Washington. Yaitu kebijakan anggaran yang ketat, penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, industri dan perdagangan, serta privatisasi.

Liberalisasi sektor keuangan yang terlampau cepat merupakan salah satu faktor yang membuat rupiah sangat volatile.Orang boleh meninggalkan Indonesia dan membawa rupiah atau dolar berapa pun. Padahal di AS, negara yang menjadi kampium liberalisasi, orang tidak boleh keluar AS membawa lebih dari US10.000.

Ketika krisis moneter melanda Asia, ekonomi China tidak goyah. Karena sistem dan lalu lintas devisa dan mata uang sangat ketat. Ekonomi Malaysia juga hanya terguncang sebentar dan secara singkat pulih kembali. Liberalisasi Industri dan perdagangan telah menghancurkan ekonomi Indonesia. Pasar Indonesia dibanjiri produk asing. Indonesia didorong menandatangani persetujuan WTO yang membuka pasar selebar-lebarnya meski para pelaku ekonomi belum siap bersaing dengan raksasa di pasar global. Terakhir pemberlakuan Persetujuan Perdagangan Bebas (FTA) ASEAN-China, telah menjadikan Indonesia kebanjiran produk dari China.

Negara maju tidak ingin Indonesia menjadi negara industri. Selama kebijakan ekonomi Indonesia dikuasasi Mafia Berkeley, negeri ini hanya sekedar menjadi negeri konsumen. Kita menyaksikan betapa industri sepatu, tekstil dan elektronik lokal gugur satu persatu. Lewat tangan Mafia Berkeley, negara maju berhasil menggagalkan industri baja, indutri otomotif dan industri barang modal. Mereka meracuni masyarakat bahwa Indonesia tidak bisa membangun industri tersebut. Mereka lupa, Korea Selatan yang 30 tahun lalu sama dengan Indonesia, kini memiliki sejumlah perusahahan industri otomotif seperti Hyundai dan Daewoo, perusahan elektronik Samsung dan LG, serta bahkan panci masak merek Yong Ma menguasai pasar inetrnasional.

Liberalisasi juga terjadi dibidang investasi. Tak ada lagi usaha yang tidak dikuasai asing. Bisnis ritel pun habis dikuasai asing seperti Carreful, Giant, dan Hypermart. Bahkan Bisnis Waralaba asing masuk membanjiri negeri ini. Dibawah pengaruh Mafia Berkeley, Indonesia mengarah ke failed state atau negara gagal. Pembangunan selama ini hanya menghasilkan produk domestik bruto perkapita Indonesia US 1.300. bandingkan dengan Malaysia mencapai US 11.000 lebih dan Korsel mencapai US 16.000. (2006).

Pada masa Orde Baru hingga saat ini, liberalisasi ekonomi Indonesia terjadi hampir tanpa hambatan. Padahal jelas terbukti di negara mana pun di dunia, liberalisasi yang tidak dikelola dengan baik―melalui penyediaan perangkat hukum dan prasyarat memadai lainnya―hanya akan menciptakan ketergantungan ekonomi. Sebagian besar industri dalam negeri, terutama sektor-sektor penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, bakal dikuasai oleh asing, dan utang—meskipun telah dicicil—akan terus bertambah banyak (data terakhir utang RI sebesar 1.700 trilyun). Akibatnya, kekayaan alam yang melimpah tetap tidak mampu memakmurkan rakyat karena sebagian besar justru dinikmati asing.

Dari sisi kedaulatan, kita hampir sama sekali tak mampu mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi-politik penting tanpa tekanan internasional. Kasus penjualan perusahaan-perusahaan negara, eksplorasi ladang-ladang minyak dan tambang serta kasus-kasus lainnya hampir selalu terjadi karena tekanan pihak eksternal. Bagi setiap orang yang masih mampu berpikir jernih, keseluruhan cerita ini tentu mengoyak harga diri kita sebagai bangsa.

Sejak awal Orde Baru hingga sekarang, APBN selalu dibuat defisit agar ada alasan menambah utang luar negeri. Proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri sarat marked up dan korupsi. Beban utang menjadi lebih besar dari manfaat yang diberikan proyek tersebut. Dengan alasan untuk menutup defisit, asing lewat Mafia Berkeley mengobral aset negara lewat program privatisasi (baca:rampokisasi). Liberalisasi di era SBY semakin menggila. Melalui UU Migas dan Penaman Modal menjadi pembenaran bagi asing untuk mengeruk kekayaan alam kita. Pemerintah membuka lebar-lebar bagi kehadiran asing untuk mengeksploitasi minyak dan gas serta pertambangan, dengan berbagai deal yang lemah.

Akhirnya, untuk mengakhiri segala bentuk kebijakan ekonomi pembangunan yg berpijak pada ekonomi neo liberal yang diusung oleh Mafia Berkeley dan turunannya, maka diperlukan poros baru pembangunan yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara tercinta ini.

No comments: