Thursday, April 17, 2014

Katakan TIDAK! Pada Politik Uang



Hasil survey Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai persepsi masyarakat terkait perilaku pemilih dalam pemilu 2014, sungguh mencengangkan. Mayoritas masyarakat (71,72) menilai politik uang sebagai hal yang lazim. Hasil survey terlihat persepsi masyarakat di 10 kota besar di Indonesia terkait politik uang. Misalnya di Medan 88 persen publik menilai politik uang sebagai hal yang lazim. Di kota besar lainnya seperti Jakarta (84,89), Ambon (86,67), Surabaya (77,02), Palembang (70,10), Bandung (66,87), Denpasar (55,25), Mataram (60,35), Makassar (64), dan Samarinda (29,23). 

 Hasil survey tersebut membenarkan dan menguatkan persepsi kita selama ini betapa maraknya praktek politik uang yang berlangsung di seluruh tingkatan, dari pemilihan Presiden, Legislatif, Gubernur, Walikota, Bupati, hingga pemilihan Kepala Desa. Bayangkan, seorang Capres setidaknya membutuhkan dana berkisar Rp 7 triliun untuk bisa menggaet 70 juta suara rakyat Indonesia, seorang calon Gubernur mengeluarkan dana rata-rata Rp 25 miliar, seorang calon Bupati/walikota mengeluarkan dana berkisar Rp 10 miliar, seorang calon anggota DPR RI mengeluarkan dana berkisar 1 sampai 5 miliar, calon DPRD Provinsi mengeluarkan dana berkisar 500 juta hingga 1 miliar, seorang calon DPRD Kabupaten mengeluarkan dana 100 juta hingga 500 juta. Seorang calon Kepala Desa mengeluarkan dana berkisar 50 juta hingga 300 juta. 

Demokrasi dengan sistim pemilihan langsung membutuhkan biaya yang sangat tinggi, akhirnya menjadi beban politik yang harus dikembalikan saat seseorang berkuasa. Praktek politik uang merupakan dampak dari demokrasi yang berbiaya tinggi yang membunuh demokrasi dan sendi-sendi kehidupan. Karenanya MUI mengharamkan politik uang karena termasuk suap (rasywah). 

Dalam konteks saat ini masa kampanye pemilu legislatif telah dimulai, jauh sebelumnya para calon anggota legislatif di segala level telah bergerak keliling menelusuri dapilnya sambil memasang dan menyebarkan atribut kampanye. Para calon bergerak sebagai konsekwensi pemilihan langsung dengan sistim suara terbanyak dimana calon harus turun menampilkan diri dan memaparkan programnya dengan satu tujuan merebut simpati pemilih agar dipilih pada pemilu nanti. Merebut simpati pemilih dalam kultur politik yang sakit dengan ciri perilaku pemilih yang pragmatis adalah tidak mempan dengan hanya memaparkan visi misi tanpa “isi”. 

Praktik politik uang dengan jual beli suara saat ini lebih canggih. Tidak hanya melalui "serangan fajar", kini ada istilah "pascabayar". Dengan cara ini pemilih diminta menunjukkan bukti bahwa ia memilih calon yang menjanjikan menukar suaranya dengan sejumlah uang. Tim sukses sang calon akan berada di sekitar lokasi pemungutan suara. Pemilih harus memotret kertas suara yang menunjukkan siapa calon yang dipilihnya. Kemudian, foto tersebut ditunjukkan kepada tim sukses calon untuk ditukarkan dengan sejumlah uang sesuai kesepakatan. Pemilih sebelumnya sudah dikasih uang DP atau ditraktir makan, nantinya sisanya akan diberikan pasca pencoblosan dengan menunjukkan bukti photo. Terhadap fenomena yang demikian kita perlu mengapresiasi dan mendukung langkah Kapolda NTB dan KPU yang tidak membolehkan pemilih membawa handphone ke dalam TPS. 

Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh kuat terhadap toleransi atas praktek politik uang, selain itu pemilih yang tinggal di desa yang kurang memiliki kesadaran politik lebih rentan atas politik uang. Faktor jumlah pendapatan juga berpengaruh, karena semakin kecil pendapatan seseorang maka ia akan semakin terbuka dan menerima dengan wajar politik uang. Dari hasil survey KPK menunjukkan kasus politik uang lazimnya dilakukan oleh para calon incumbent yang saat ini masih menjabat. Mereka memiliki kemampuan finansial yang besar selama menjabat. Dengan kemampuan itu mereka bisa mempengaruhi pemilih dengan memberikan uang. Satu tahun terakhir menjelang masa jabatan habis, mereka tampil sosial bak dewa penolong, padahal 4 tahun sebelumnya tidak terdengar suaranya apalagi wujudnya, terlebih apa yang dihasilkannya dari gedung yang terhormat itu. Masyarakat umumnya akan menghukum dengan tidak memilihnya. 

Tentu tidak semua incumbent seperti itu, masih ada yang berintegritas yang berprestasi menghadirkan manfaat bagi masyarakat. Bagi mereka yang seperti ini akan terekam dalam memori kolektif masyarakat akan apa yang telah dilakukannya selama menjabat. 

Politik Uang Kejahatan Politik yang Membunuh Demokrasi 

Politik uang menyebabkan ketimpangan dan persaingan politik yang tidak sehat sesama calon. Seorang calon dengan kemampuan finansial yang dimiliki dengan mudah mempengaruhi pemilih untuk memilihnya, kendatipun ia tidak memiliki kemampuan intektual dan spiritual yang memadai. Sebaliknya seorang calon yang memiliki kemampuan intelektual dan spiritual yang mumpuni, namun ia tidak memiliki kemampuan finansial maka ia akan tersisih dalam kultur politik yang sakit dengan ciri pemilih yang pragmatis (wani piro). Jika demikian yang terjadi maka pemilu hanya menjadi ajang pertarungan para caleg kapitalis (aghniya) melawan para caleg proletar (dhuafa). Maka hasilnya adalah jabatan yang telah direngkuhnhya itu dikapitalisasi untuk kepentingan diri dan dinasty politiknya. Masyarakat hanya bisa gigit jari tidak mendapatkan apa-apa untuk kesejahteraan ekonominya, lebih-lebih masyarakat pemilih yang sudah dibayar cash and carry dimasa kampanye. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab, seseorang dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas dan kompetensinya untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada para pemilih menjelang saat pemilihan. 

Inilah yang menyebabkan jabatan-jabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan bekerja dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk menghadirkan kebaikan bersama memuliakan rakyat.

Sejatinya demokrasi pemilihan langsung diadakan untuk meminimalisir politik uang. Tetapi ternyata kalkulasi itu keliru besar, bahkan dalam demokrasi langsung seperti yang berlaku di negeri ini, praktik politik uang semakin tak dapat dikendalikan. Peraturan KPU dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang melarang praktik haram ini, seolah dibuat hanya untuk dilanggar. 

Maraknya politik uang adalah ciri kultur politik yang sakit yang ditandai oleh perilaku pragmatis pemilih dan yang dipilih. Dalam kultur politik yang sehat, ditandai perilaku pemilih dan yang dipilih memiliki kesadaran politik bahwa ajang demokrasi ini tidak boleh dikotori oleh praktek politik uang. Demokrasi harus diselamatkan dari praktek kotor agar bisa menghadirkan kebaikan dalam kehidupan. Penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus bersikap senetral mungkin. Lembaga terkait seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan aparat penegak hukum juga harus menjaga mutu penyelenggaraan pemilu. 

Jika praktek politik uang terus terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum medioker, yaitu mereka yang minim atau tidak memiliki kemampuan apa-apa, namun berhasil meraih kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipat-lipat. Karena itulah, politik uang harus dianggap sebagai kejahatan besar dalam politik yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama.  

Untuk melawan praktik politik uang, diperlukan politikus berintegritas yang benar-benar memahami bahwa pengertian politik adalah adalah seni menata negara yang bertujuan menghadirkan kebaikan bersama agar rakyat lebih sejahtera. Politik memerlukan orang-orang baik, memiliki kompetensi, dan sekaligus juga memiliki keunggulan kompetitif. Sebab, kebaikan dalam politik perlu diperjuangkan sampai ia tertransformasi ke dalam kebijakan-kebijakan politik negara. Nilai hanya akan menjadi hidup apabila ia telah teraplikasi ke dalam praktik kehidupan keseharian. Nilai yang tak tertransformasikan, hanya akan berada di menara gading dan awang-awang yang tidak akan memberikan pengaruh nyata kepada kehidupan rakyat banyak. 

Akhirnya, di musim kampanye Pemilu Legislatif ini dan di Pemilu Pemilihan Presiden mendatang mari kita hadirkan pemilu yang berintegritas. Kita jaga dan selamatkan proses pertumbuhan demokrasi dari hama demokrasi yang bernama praktek politik uang. Politik uang merupakan kejahatan politik yang akan membunuh demokrasi dan sendi-sendi kehidupan bernegara. Katakan tidak! pada politik uang agar nanti menghasilkan wakil rakyat yang amanah dan mau bekerja keras untuk menyejahterakan masyarakat. Bukan wakil rakyat yang memperkaya diri dan dinasty politiknya secara koruptif, yang hanya menyisahkan remah ekonomi dan pepesan kosong bagi rakyatnya. Wallahu a’lam bisshawab. 

Andi Mapperumah, MS (Staf Khusus Anggota DPD RI, A.M. Fatwa dan Calon Anggota DPD RI No. 5 NTB). 

Tulisan ini pernah dimuat Harian Lombok Post dan Radar Sumbawa-Tambora seminggu sebelum Pemilu Legislatif 2014.

No comments: