Thursday, April 17, 2014

Katakan TIDAK! Pada Politik Uang



Hasil survey Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai persepsi masyarakat terkait perilaku pemilih dalam pemilu 2014, sungguh mencengangkan. Mayoritas masyarakat (71,72) menilai politik uang sebagai hal yang lazim. Hasil survey terlihat persepsi masyarakat di 10 kota besar di Indonesia terkait politik uang. Misalnya di Medan 88 persen publik menilai politik uang sebagai hal yang lazim. Di kota besar lainnya seperti Jakarta (84,89), Ambon (86,67), Surabaya (77,02), Palembang (70,10), Bandung (66,87), Denpasar (55,25), Mataram (60,35), Makassar (64), dan Samarinda (29,23). 

 Hasil survey tersebut membenarkan dan menguatkan persepsi kita selama ini betapa maraknya praktek politik uang yang berlangsung di seluruh tingkatan, dari pemilihan Presiden, Legislatif, Gubernur, Walikota, Bupati, hingga pemilihan Kepala Desa. Bayangkan, seorang Capres setidaknya membutuhkan dana berkisar Rp 7 triliun untuk bisa menggaet 70 juta suara rakyat Indonesia, seorang calon Gubernur mengeluarkan dana rata-rata Rp 25 miliar, seorang calon Bupati/walikota mengeluarkan dana berkisar Rp 10 miliar, seorang calon anggota DPR RI mengeluarkan dana berkisar 1 sampai 5 miliar, calon DPRD Provinsi mengeluarkan dana berkisar 500 juta hingga 1 miliar, seorang calon DPRD Kabupaten mengeluarkan dana 100 juta hingga 500 juta. Seorang calon Kepala Desa mengeluarkan dana berkisar 50 juta hingga 300 juta. 

Demokrasi dengan sistim pemilihan langsung membutuhkan biaya yang sangat tinggi, akhirnya menjadi beban politik yang harus dikembalikan saat seseorang berkuasa. Praktek politik uang merupakan dampak dari demokrasi yang berbiaya tinggi yang membunuh demokrasi dan sendi-sendi kehidupan. Karenanya MUI mengharamkan politik uang karena termasuk suap (rasywah). 

Dalam konteks saat ini masa kampanye pemilu legislatif telah dimulai, jauh sebelumnya para calon anggota legislatif di segala level telah bergerak keliling menelusuri dapilnya sambil memasang dan menyebarkan atribut kampanye. Para calon bergerak sebagai konsekwensi pemilihan langsung dengan sistim suara terbanyak dimana calon harus turun menampilkan diri dan memaparkan programnya dengan satu tujuan merebut simpati pemilih agar dipilih pada pemilu nanti. Merebut simpati pemilih dalam kultur politik yang sakit dengan ciri perilaku pemilih yang pragmatis adalah tidak mempan dengan hanya memaparkan visi misi tanpa “isi”. 

Praktik politik uang dengan jual beli suara saat ini lebih canggih. Tidak hanya melalui "serangan fajar", kini ada istilah "pascabayar". Dengan cara ini pemilih diminta menunjukkan bukti bahwa ia memilih calon yang menjanjikan menukar suaranya dengan sejumlah uang. Tim sukses sang calon akan berada di sekitar lokasi pemungutan suara. Pemilih harus memotret kertas suara yang menunjukkan siapa calon yang dipilihnya. Kemudian, foto tersebut ditunjukkan kepada tim sukses calon untuk ditukarkan dengan sejumlah uang sesuai kesepakatan. Pemilih sebelumnya sudah dikasih uang DP atau ditraktir makan, nantinya sisanya akan diberikan pasca pencoblosan dengan menunjukkan bukti photo. Terhadap fenomena yang demikian kita perlu mengapresiasi dan mendukung langkah Kapolda NTB dan KPU yang tidak membolehkan pemilih membawa handphone ke dalam TPS. 

Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh kuat terhadap toleransi atas praktek politik uang, selain itu pemilih yang tinggal di desa yang kurang memiliki kesadaran politik lebih rentan atas politik uang. Faktor jumlah pendapatan juga berpengaruh, karena semakin kecil pendapatan seseorang maka ia akan semakin terbuka dan menerima dengan wajar politik uang. Dari hasil survey KPK menunjukkan kasus politik uang lazimnya dilakukan oleh para calon incumbent yang saat ini masih menjabat. Mereka memiliki kemampuan finansial yang besar selama menjabat. Dengan kemampuan itu mereka bisa mempengaruhi pemilih dengan memberikan uang. Satu tahun terakhir menjelang masa jabatan habis, mereka tampil sosial bak dewa penolong, padahal 4 tahun sebelumnya tidak terdengar suaranya apalagi wujudnya, terlebih apa yang dihasilkannya dari gedung yang terhormat itu. Masyarakat umumnya akan menghukum dengan tidak memilihnya. 

Tentu tidak semua incumbent seperti itu, masih ada yang berintegritas yang berprestasi menghadirkan manfaat bagi masyarakat. Bagi mereka yang seperti ini akan terekam dalam memori kolektif masyarakat akan apa yang telah dilakukannya selama menjabat. 

Politik Uang Kejahatan Politik yang Membunuh Demokrasi 

Politik uang menyebabkan ketimpangan dan persaingan politik yang tidak sehat sesama calon. Seorang calon dengan kemampuan finansial yang dimiliki dengan mudah mempengaruhi pemilih untuk memilihnya, kendatipun ia tidak memiliki kemampuan intektual dan spiritual yang memadai. Sebaliknya seorang calon yang memiliki kemampuan intelektual dan spiritual yang mumpuni, namun ia tidak memiliki kemampuan finansial maka ia akan tersisih dalam kultur politik yang sakit dengan ciri pemilih yang pragmatis (wani piro). Jika demikian yang terjadi maka pemilu hanya menjadi ajang pertarungan para caleg kapitalis (aghniya) melawan para caleg proletar (dhuafa). Maka hasilnya adalah jabatan yang telah direngkuhnhya itu dikapitalisasi untuk kepentingan diri dan dinasty politiknya. Masyarakat hanya bisa gigit jari tidak mendapatkan apa-apa untuk kesejahteraan ekonominya, lebih-lebih masyarakat pemilih yang sudah dibayar cash and carry dimasa kampanye. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab, seseorang dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas dan kompetensinya untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada para pemilih menjelang saat pemilihan. 

Inilah yang menyebabkan jabatan-jabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan bekerja dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk menghadirkan kebaikan bersama memuliakan rakyat.

Sejatinya demokrasi pemilihan langsung diadakan untuk meminimalisir politik uang. Tetapi ternyata kalkulasi itu keliru besar, bahkan dalam demokrasi langsung seperti yang berlaku di negeri ini, praktik politik uang semakin tak dapat dikendalikan. Peraturan KPU dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang melarang praktik haram ini, seolah dibuat hanya untuk dilanggar. 

Maraknya politik uang adalah ciri kultur politik yang sakit yang ditandai oleh perilaku pragmatis pemilih dan yang dipilih. Dalam kultur politik yang sehat, ditandai perilaku pemilih dan yang dipilih memiliki kesadaran politik bahwa ajang demokrasi ini tidak boleh dikotori oleh praktek politik uang. Demokrasi harus diselamatkan dari praktek kotor agar bisa menghadirkan kebaikan dalam kehidupan. Penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus bersikap senetral mungkin. Lembaga terkait seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan aparat penegak hukum juga harus menjaga mutu penyelenggaraan pemilu. 

Jika praktek politik uang terus terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum medioker, yaitu mereka yang minim atau tidak memiliki kemampuan apa-apa, namun berhasil meraih kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipat-lipat. Karena itulah, politik uang harus dianggap sebagai kejahatan besar dalam politik yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama.  

Untuk melawan praktik politik uang, diperlukan politikus berintegritas yang benar-benar memahami bahwa pengertian politik adalah adalah seni menata negara yang bertujuan menghadirkan kebaikan bersama agar rakyat lebih sejahtera. Politik memerlukan orang-orang baik, memiliki kompetensi, dan sekaligus juga memiliki keunggulan kompetitif. Sebab, kebaikan dalam politik perlu diperjuangkan sampai ia tertransformasi ke dalam kebijakan-kebijakan politik negara. Nilai hanya akan menjadi hidup apabila ia telah teraplikasi ke dalam praktik kehidupan keseharian. Nilai yang tak tertransformasikan, hanya akan berada di menara gading dan awang-awang yang tidak akan memberikan pengaruh nyata kepada kehidupan rakyat banyak. 

Akhirnya, di musim kampanye Pemilu Legislatif ini dan di Pemilu Pemilihan Presiden mendatang mari kita hadirkan pemilu yang berintegritas. Kita jaga dan selamatkan proses pertumbuhan demokrasi dari hama demokrasi yang bernama praktek politik uang. Politik uang merupakan kejahatan politik yang akan membunuh demokrasi dan sendi-sendi kehidupan bernegara. Katakan tidak! pada politik uang agar nanti menghasilkan wakil rakyat yang amanah dan mau bekerja keras untuk menyejahterakan masyarakat. Bukan wakil rakyat yang memperkaya diri dan dinasty politiknya secara koruptif, yang hanya menyisahkan remah ekonomi dan pepesan kosong bagi rakyatnya. Wallahu a’lam bisshawab. 

Andi Mapperumah, MS (Staf Khusus Anggota DPD RI, A.M. Fatwa dan Calon Anggota DPD RI No. 5 NTB). 

Tulisan ini pernah dimuat Harian Lombok Post dan Radar Sumbawa-Tambora seminggu sebelum Pemilu Legislatif 2014.

Wednesday, December 14, 2011

Mafia Berkeley -- > Neolib -- > Failed State

Hampir setengah abad lebih, kebijakan ekonomi negeri ini ditentukan oleh sebuah kekuatan yang disebut Mafia Berkeley. Sejak 1996, kelompok ini menjadi penentu arah ekonomi Indonesia. Enam kali sudah pergantian rezim, Mafia Berkeley tetap eksis bahkan semakin ekspansif.

Ketika Soeharto naik ketampuk kekuasaan, ia menyerahkan urusan ekonomi kepada sekelompok pakar ekonomi tamatan Universitas Berkeley. Kelompok ini disebut Mafia Berkeley. Istilah Mafia Berkeley pertama kali dicetuskan oleh seorang aktivis-penulis 'kiri' AS, David Ransom, dalam sebuah majalah bernama Ramparts, edisi 4 tahun 1970. Disebut Mafia karena kelompok ini bekerja secara terorganisasi atas order pihak lain yang bertujuan menghancurkan ekonomi Indonesia.Pihak lain itu adalah negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, dengan menggunakan lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan IMF.

Sebagian besar dari menteri-menteri yang dituduh sebagai Mafia Berkeley adalah lulusan doktor atau master dari University of California at Berkeley di tahun 1960-an atas bantuan Ford Foundation. Para menteri tersebut sekembalinya dari Amerika Serikat mengajar di Universitas Indonesia. Pemimpin tidak resmi dari kelompok ini ialah Widjojo Nitisastro. Para anggotanya antara lain Emil Salim, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Dorodjatun Koentjoro-Jakti yang lulus belakangan dari Berkeley kadang-kadang juga dimasukkan sebagai anggota kelompok ini. Yang terakhir ramai dibicarakan sebagi penerus ideologi Mafia Berkeley adalah Boediono, Sri Mulyani dan Mari Pangestu.

Ekonom dan teknokrat yang tergolong Mafia Berkeley adalah mereka yang tercekoki paham ekonomi neoklasik. Menyerahkan sepenuhnya ekonomi pada mekanisme pasar, dan kurang patriotik. Mafia Berekely mendapat mandat untuk mengamankan kebijakan yang diputuskan Konsensus Washington. Yaitu kebijakan anggaran yang ketat, penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, industri dan perdagangan, serta privatisasi.

Liberalisasi sektor keuangan yang terlampau cepat merupakan salah satu faktor yang membuat rupiah sangat volatile.Orang boleh meninggalkan Indonesia dan membawa rupiah atau dolar berapa pun. Padahal di AS, negara yang menjadi kampium liberalisasi, orang tidak boleh keluar AS membawa lebih dari US10.000.

Ketika krisis moneter melanda Asia, ekonomi China tidak goyah. Karena sistem dan lalu lintas devisa dan mata uang sangat ketat. Ekonomi Malaysia juga hanya terguncang sebentar dan secara singkat pulih kembali. Liberalisasi Industri dan perdagangan telah menghancurkan ekonomi Indonesia. Pasar Indonesia dibanjiri produk asing. Indonesia didorong menandatangani persetujuan WTO yang membuka pasar selebar-lebarnya meski para pelaku ekonomi belum siap bersaing dengan raksasa di pasar global. Terakhir pemberlakuan Persetujuan Perdagangan Bebas (FTA) ASEAN-China, telah menjadikan Indonesia kebanjiran produk dari China.

Negara maju tidak ingin Indonesia menjadi negara industri. Selama kebijakan ekonomi Indonesia dikuasasi Mafia Berkeley, negeri ini hanya sekedar menjadi negeri konsumen. Kita menyaksikan betapa industri sepatu, tekstil dan elektronik lokal gugur satu persatu. Lewat tangan Mafia Berkeley, negara maju berhasil menggagalkan industri baja, indutri otomotif dan industri barang modal. Mereka meracuni masyarakat bahwa Indonesia tidak bisa membangun industri tersebut. Mereka lupa, Korea Selatan yang 30 tahun lalu sama dengan Indonesia, kini memiliki sejumlah perusahahan industri otomotif seperti Hyundai dan Daewoo, perusahan elektronik Samsung dan LG, serta bahkan panci masak merek Yong Ma menguasai pasar inetrnasional.

Liberalisasi juga terjadi dibidang investasi. Tak ada lagi usaha yang tidak dikuasai asing. Bisnis ritel pun habis dikuasai asing seperti Carreful, Giant, dan Hypermart. Bahkan Bisnis Waralaba asing masuk membanjiri negeri ini. Dibawah pengaruh Mafia Berkeley, Indonesia mengarah ke failed state atau negara gagal. Pembangunan selama ini hanya menghasilkan produk domestik bruto perkapita Indonesia US 1.300. bandingkan dengan Malaysia mencapai US 11.000 lebih dan Korsel mencapai US 16.000. (2006).

Pada masa Orde Baru hingga saat ini, liberalisasi ekonomi Indonesia terjadi hampir tanpa hambatan. Padahal jelas terbukti di negara mana pun di dunia, liberalisasi yang tidak dikelola dengan baik―melalui penyediaan perangkat hukum dan prasyarat memadai lainnya―hanya akan menciptakan ketergantungan ekonomi. Sebagian besar industri dalam negeri, terutama sektor-sektor penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, bakal dikuasai oleh asing, dan utang—meskipun telah dicicil—akan terus bertambah banyak (data terakhir utang RI sebesar 1.700 trilyun). Akibatnya, kekayaan alam yang melimpah tetap tidak mampu memakmurkan rakyat karena sebagian besar justru dinikmati asing.

Dari sisi kedaulatan, kita hampir sama sekali tak mampu mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi-politik penting tanpa tekanan internasional. Kasus penjualan perusahaan-perusahaan negara, eksplorasi ladang-ladang minyak dan tambang serta kasus-kasus lainnya hampir selalu terjadi karena tekanan pihak eksternal. Bagi setiap orang yang masih mampu berpikir jernih, keseluruhan cerita ini tentu mengoyak harga diri kita sebagai bangsa.

Sejak awal Orde Baru hingga sekarang, APBN selalu dibuat defisit agar ada alasan menambah utang luar negeri. Proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri sarat marked up dan korupsi. Beban utang menjadi lebih besar dari manfaat yang diberikan proyek tersebut. Dengan alasan untuk menutup defisit, asing lewat Mafia Berkeley mengobral aset negara lewat program privatisasi (baca:rampokisasi). Liberalisasi di era SBY semakin menggila. Melalui UU Migas dan Penaman Modal menjadi pembenaran bagi asing untuk mengeruk kekayaan alam kita. Pemerintah membuka lebar-lebar bagi kehadiran asing untuk mengeksploitasi minyak dan gas serta pertambangan, dengan berbagai deal yang lemah.

Akhirnya, untuk mengakhiri segala bentuk kebijakan ekonomi pembangunan yg berpijak pada ekonomi neo liberal yang diusung oleh Mafia Berkeley dan turunannya, maka diperlukan poros baru pembangunan yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara tercinta ini.

Saturday, June 27, 2009

PELACURAN INTELEKTUAL


Peradaban sesungguhnya dibangun diatas pondasi intelektualitas manusia. Begitu pula sebaliknya hancurnya sebuah peradaban karena hancurnya pondasi inteletualitas manusia yang ditindih oleh kepentingan pragmatisme - materialisme.

Intelektualitas manusia sejatinya diarahkan bagi pencerahan kehidupan, membangun peradaban yang harmoni dalam hidup dan kehidupan serta memuliakan manusia dan kemanusiaan. Tapi kini, tarikan kehidupan dunia begitu kuat telah meluluh lantahkan kesejatian inteletualitas yang mencerahkan itu. Begitu banyak intelektual menggadaikan inteletualitasnya kepada kekuasaan demi kepentingan pragmatis yang hedonistik

Betapa banyak pula intelektual masuk dunia politik yang pada awalnya dengan niat suci penuh keluhuran untuk melakukan perubahan namun kemudian lupa dan berkubang dalam kepalsuan hidup. Betapa banyak intelektual yang pada awalnya menjadi pengamat yang kritis terhadap berbagai persoalan lalu kemudian terbujuk kekuasaan yang pada akhirnya pemikiran, pewacanaan dan tindakannya membela kepentingan kekuasaan atau elite sosial-ekonomi-politik yang memberikan mereka jabatan dan kue ekonomi.

Betapa banyak lembaga penelitian dan lembaga survey yang dibentuk bukan atas dasar mencari kebenaran dan pengetahuan baru, tetapi justru hasilnya adalah pembodohan menjustifikasi kesalahan menjadi sebuah kebenaran. Mereka bisa dipesan, dibeli ditakar dengan rupiah mereka mengutak-atik angka-angka statistic sesuai dengan pesanan. Hal ini sungguh menyedihkan bahkan memilukan sekali pengaruh materi mematikan nilai-nilai kebenaran dan kesucian ilmu pengetahuan. Pelacuran intelektual sungguh amat dasyat sekali mudhoratnya dibandingkan dengan pelacuran alat kelamin.

Thursday, June 25, 2009

Gema Masyarakat NTB Dukung JK-WIN
Kamis, 18 Juni 2009 06:37 Administrator

Jakarta, Sumbawanews.com.- Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah momen penting dalam sejarah merebut kekuasaan, bukan saja pertaruhan antar partai tetapi jauh lebih penting adalah pertaruhan nama baik dan kehormatan calon presiden dan wakil presiden. Karenanya berbagai strategi pencitraan dan kemampuan mempengaruhi masyarakat terus dilakukan dengan berbagai cara dalam rangka memenangkan pertarungan. Tentu dengan luasnya wilayah republik ini para capres dan wapres tidak bisa mendatangi masyarakat sampai kedaerah daerah terjauh, begitu pula tidak cukup hanya mengandalkan tim resmi kampanye, diperlukan sebanyak mungkin tim relawan untuk bergerak lebih jauh dan masuk kedalam simpul-simpul masyarkat yang nota bene mereka memiliki hubungan emosional dan kekeluargaan yang melintasi sekat-sekat partai politik.

Kordinator Gema NTB Andi Mapperumah MS kepada Redaksi menjelaskan Gema Masyarakat NTB For JK-WIN (GEMA NTB For JK-WIN) hadir guna memperluas jaringan dan memperbanyak lumbung-lumbung suara agar JK-WIN bisa memenangkan pertarungan Pilpres ini. Sebagai putera kelahiran NTB tentu kami mengetahui bagaimana masyarakat disana, lebih-lebih pada pemilu legislatif kemarin kami maju sebagai caleg DPR RI Dapil NTB dari. Tim sukses kami tersebar di hampir semua Kecamatan dan Desa.

Pilihan untuk memberikan dukungan kepada pasangan JK-WIN dengan membentuk Gema Masyarakat NTB For JK-WIN diambil berdasarkan pikiran rasional, setidaknya dua hal pertama bahwa bangsa ini selalu berhadapan dengan persoalan ekonomi dan keamanan. JK adalah pilihan tepat sebagai Calon Presiden karena berlatar belakang ekonomi yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya dan sudah teruji dalam lima tahun terakhir sebagai Wakil Presiden. Sedangkan Wiranto dengan latar belakang militer tentu pasti pula tidak diragukan kemampuannya dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Kedua, JK-WIN adalah pasangan indonesia banget, artinya inilah pasangan yang menjahit keindonesiaan, inilah pasangan nusantara yang menghargai pluralitas bangsa. JK berasal dari Sulawesi dan Wiranto dari Jawa. Ketiga, Lebih Cepat Lebih Tegas. Dalam jabatannya di pemerintahan, JK maupun Wiranto lebih cepat dari pejabat lain saat harus bertindak. Bahkan kerapkali hambatan birokrasi yang panjang ditembusnya demi agar sebuah kebijakan yang pro-rakyat dapat diterapkan. Karakter JK dan Wiranto bukanlah seorang peragu. Keduanya tegas dan berani mengambil resiko tidak populer atas kebijakannya demi kebaikan rakyat

"Kami yakin GEMA NTB FOR JK-WIN akan mendapat dukungan luas masyarakat NTB. Gerakan ini lintas partai, agama dan golongan. berbagai pengurus partai diluar partai pendukung JK-WIN akan memberikan dukungan dan siap menjadi relawan GEMA NTB FOR JK-WIN. Kami sendiri adalah pengurus DPP PAN sebagai Kepala Departemen Advokasi dan Pemerdayaan Tenaga Medis. Meskipun DPP Partai Amanat Nasional secara institusi mendukung SBY-Boediono tetapi sebagian besar pengurus dan kader dari DPW, DPD, DPC dan Ranting yang ada di NTB memberikan dukungan kepada pasangan JK-WIN." jelas Amru panggilan akrab Andi Mapperumah

"JK yang berasal dari etnis Bugis akan mendulang suara yang signifikan di NTB karena jumlah orang Bugis di NTB sangat banyak. Disamping itu, masyarakat NTB khususnya suku Sumbawa, Dompu dan Bima memiliki kedekatan historis-kultural dengan suku Bugis." pungkas Amru
Andi Mapperumah: Din Syamsuddin Seharusnya Berlayar di Atas kapal Politik, Bukan Sekoci Politik

Minggu, 14 Desember 2008 06:36 Administrator


Jakarta, Sumbawanews.com.- Poros tengah jilid II yang di lontarkan oleh Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin menjadi pro kontra dalam jagad politik yang semakin memanas.

Putera kelahiran Sumbawa ini coba melontarkan wacana yang sudah tentu berharap keberhasilan Poros Tengah jilid I bisa terulang pada Pilpres mendatang.

"Lontaran tersebut secara kalkulasi politik tentunya pak Din Sudah memperhitungkan implikasi politiknya." tanggap Salah seorang kader Partai Amanat Nasional (PAN) Andi Mapperumah kepada Redaksi Sumbawanews.com.

Dijelaskan oleh Andi dalam konstelasi politik dewasa ini memang dirasa ada kerinduan dalam masyarakat akan perlunya koalisi partai islam dan partai yang mayoritas konstituennya muslim. Disisi lain istilah poros tengah telah menimbulkan traumatik - historik yang gagal memberi pencerahan bagi bangsa ini.

"Saya pribadi dari banyak masyarakat yang mengimpikan Pak Din mengambil peran yang lebih besar dinegeri ini tetapi tiba-tiba seperti memilih kavling politik yang sempit yang mengarah pada penguatan kembali politik aliran ( Islam Politik ) yang berhadapan secara diametral dengan kekuatan politik nasionalis sekuler." Urai politisi muda kelahiran Sumbawa ini.

Andi juga berharap persfektif politik Din Syamsuddin bisa hadir dan diterima disemua pelataran politik negeri ini. "Saya mengimpikan Pak Din berlayar berlayar diatas kapal politik, bukan sekoci politik." Tegasnya.

"saya mengimpikan pak din menjadi arsitek perumahan demokrasi dimana semua penghuninya hidup penuh harmoni, nyaman dan damai." Pungkas Caleg PAN daerah pemilihan NTB ini.(sn01)

Tuesday, October 28, 2008

Republik Kaum Muda

Dalam sejarah Indonesia, ide tentang republik (res publica) pertama-tama diperjuangkan oleh kaum muda.

Ide sentral dari republikanisme adalah penemuan kerangka solidaritas politik yang mampu melayani kepentingan umum sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang mengalami ragam perbedaan. Proyek republikanisme berusaha mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam gelanggang republik.

Dalam konteks Indonesia, landas pacu (launchpad) cita-cita republikanisme ini adalah Sumpah Pemuda. Setelah aneka pergerakan etno-religius gagal menyatukan berbagai keragaman posisi, determinasi dan aliran ke front perjuangan bersama (historical bloc), terbitlah kesadaran baru di kalangan pemuda-pelajar dari berbagai daerah untuk mengakui komunitas impian bersama: bangsa Indonesia.

Dalam kerangka kebangsaan Indonesia ini, solidaritas kewargaan tidak didasarkan kesamaan etnis atau keagamaan, tetapi pengakuan hak yang sama atas dasar kesatuan tumpah darah (territorial conception of citizenship): tanah air Indonesia.

Untuk memperkuat solidaritas kewargaan di antara berbagai gugus kebangsaan itu, diperlukan sarana komunikasi politik. Suatu trajektori baru dalam kesadaran nasional memerlukan penarikan batas antara dunia penjajah dan yang terjajah dalam dunia simbolik. Dalam hal ini, para pemuda-pelajar yang terbiasa bertutur dalam bahasa ibunya (bahasa daerah) dan bahasa intelektualnya (Belanda) berkomitmen untuk menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia.
Maka, Sumpah Pemuda bisa dilukiskan sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis, dan status quois generasi tua, para pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah 30 tahun, datang dengan etos kreatif. Seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind, etos kreatif bersendikan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko sehingga memiliki keberanian untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik (Margaret Boden, 1962).

Demikianlah, khitah pergerakan politik kaum muda terletak pada etos kreatifnya. Manakala elemen-elemen kemapanan menyeru pada ”kejumudan” dan ”ego sektoral”, kaum muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme. Etos kreatif kaum muda inilah yang mengantar Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.

Elan kreatif kaum muda

Setelah 80 puluh tahun Sumpah Pemuda dicetuskan, krisis nasional dan global yang ditimbulkan elemen-elemen kemapanan, sekali lagi memanggil elan kreatif kaum muda. Sejauh menyangkut pemulihan ekonomi, Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class telah melukiskan secara baik peran esensial kreativitas. Bahwa pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidak seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik (tanah dan tenaga manusia), tetapi bersandarkan intelegensia, pengetahuan, dan kreativitas. Kreativitas manusialah satu-satunya sumber daya yang tak terbatas. Negara-negara dengan creative capital yang tumbuh baik, seperti Finlandia, Swedia, Denmark, Belanda, Irlandia, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, terbukti memiliki daya saing perekonomian yang lebih kuat.
Isu utamanya di sini, bukan human capital dalam arti konvensional yang hanya diukur berdasarkan pendidikan formal, tetapi pada pemuliaan daya-daya kreatif lewat penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan kreativitas. Ekosistem kreativitas yang baik merupakan sinergi dari ketersediaan teknologi, talenta, dan toleransi (3T)—dengan tiadanya hambatan bagi ragam ekspresi budaya.

Adapun pelaku utama ekonomi kreatif (the creative economy) tak lain adalah anak- anak muda dengan etos kreatif yang kuat. Itu sebabnya mengapa dalam perekonomian global hari ini, banyak pengusaha sukses yang tumbuh dari orang-orang berusia muda.

Pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia terhambat ekosistem yang tidak kondusif akibat kebijakan dan perilaku politik yang bertentangan dengan prinsip kemaslahatan umum republikanisme. Hal ini bermula saat jagat politik yang dikuasai kaum tua lebih dikendalikan logika kemapanan yang melanggengkan kejumudan ketimbang logika pembaruan yang menumbuhkan kreativitas.

Pemblokiran elan-kreatif kaum muda sebagai pengawal cita-cita republikanisme membuat kekayaan dan keindahan negeri tak sebanding martabat bangsa: kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, keberagaman tak mendorong keinsafan berbudi.
Pelopor politik Indonesia

Karena itu, jagat politik Indonesia harus mengalami kembali proses creative destruction lewat kepemimpinan kaum muda. Kaum muda adalah pelopor politik Indonesia. Mereka pula yang memiliki otentisitas untuk mengembalikan ke rel yang benar. Kaum muda dituntut merobohkan kelaziman politik yang merasionalisasi kepentingan individu untuk dibayar oleh irasionalitas kehidupan kolektif. Politik harus kembali ditempatkan sebagai usaha resolusi atas problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif.

Pada peristiwa Sumpah Pemuda, creative destruction itu didorong semangat nasionalisme negatif-defensif dalam rangka menghadapi musuh dari luar. Creative destruction hari ini harus didorong semangat nasionalisme positif-progresif dalam rangka mengaktualisasikan potensi dan talenta-talenta terbaik bangsa.

Hanya dengan memuliakan potensi kreatif kaum mudalah, Indonesia bisa meraih kejayaannya.
(Kompas)

Yudi Latif Pengasuh Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (Pekik) Indonesia

Wednesday, October 15, 2008

Saatnya kaum Muda Memimpin !

Dalam sejarah modern kita selamanya Angkatan Muda menjadi motor perubahan ke arah yang lebih maju, kecuali angkatan 66.”
(Pramudya Ananta Toer)

Sejarah telah membuktikan bahwa kaum muda selalu menjadi motor perubahan, di berbagai belahan dunia, kaum muda muncul sebagai kekuatan pendobrak yang melahirkan perubahan. Gerakan pembebasan nasional di turki, di awali oleh kebangkitan kaum muda yang membangkitkan nasionalisme turki tahun 1889. Di Eropa, kondisi kehidupan pekerja yang sangat buruk di masa awal sistem kapitalisme membangkitkan aliansi pekerja muda dan mahasiswa dalam gerakan menuntut pemberlakuan 8 jam kerja sehari, dan penghilangan bentuk kekerasan terhadap pekerja. Dalam sejarah Indonesia sendiri, pelajar terdidik di Negeri belanda pertama kali mencetuskan konsep nasionalisme Indonesia dalam program perjuangannya. Bahkan sekarang, di Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia kebangkitan perlawanan rakyat berdampingan dengan kebangkitan kembali kaum muda. Kaum mudalah, di barisan terdepan dalam penolakan UU Kontrak Kerja Pertama (CPE) di Perancis, atau perlawanan terhadap rasialisme di Amerika yang semakin intensif hari ini. Semua itu adalah gejala sekaligus pembuktian bahwa sebenarnya kaum muda tidak boleh diremehkan, apalagi mencoretnya dalam proses penulisan sejarah.

Di Indonesia, wacana kepemimpinan kaum muda menimbulkan persilangan pendapat, yang terkadang perdebatan itu tidak berdasarkan logika berpikir ilmiah, dan objektif. Lihat saja, argumentasi beberapa kelompok yang tidak menghendaki kepemimpinan kaum Muda, menuduh bahwa sektor masyarakat yang satu ini tidak pantas untuk memimpin republik. Umumnya, kelompok penentang menganggap bahwa generasi muda Indonesia saat ini memiliki sentimen nasionalisme yang rendah, patriotisme yang kendor, dan moral yang rusak. Sedangkan dari kelompok pemuda sendiri, yang di motori oleh aktivis mahasiswa dan organisasi pemuda menilai bahwa wacana kepemimpinan kaum muda adalah mungkin. Apalagi jika di letakkan dalam perkembangan situasi nasional sekarang, panggung politik nasional diisi oleh tokoh-tokoh tua yang sudah tidak capable untuk memimpin negeri ini. Kepemimpinan nasional sekarang yang masih di dominasi oleh tokoh tua tidak memberikan perspektif perubahan, malah semakin menyeret bangsa Indonesia dalam situasi nasional yang memprihatinkan; kemiskinan, korupsi, kelaparan, pengangguran, diskriminasi, dan kediktatoran.

Namun, perlu kiranya kita membongkar sesat pikir generasi tua Indonesia saat ini yang meremehkan kepemimpinan kaum muda dengan membuka kembali dokumen sejarah tidak tertulis, teori-teori, dan gagasan kaum muda yang relevan dalam perdebatan Ini.

Sejarah Indonesia adalah Sejarah Kaum Muda

Sejarah tidak di tentukan oleh Massa tetapi oleh tokoh, teriak Karl Manhein. Dengan logika berpikir seperti ini maka penulisan sejarah lebih berorientasikan patriotisme/heroisme individual, biography sang tokoh, dan sangat meminimumkan peranan massa. Jika sejarah adalah mulut yang bisa meludah, mungkin dia akan meludahi muka Karl Manhein yang telah mengambil kesimpulan salah tersebut. Sebenarnya sejarah adalah totalitas perkembangan masyarakat, dalam berbagai aspek tergantung mana yang menjadi fokus pengamatan kita. Namun, jika di analisa perkembangan masyarakat sejarah detail, maka akan diketemukan bahwa pikiran maju dan kehendak massalah yang telah menjadi motor utama pergerakan sejarah. Lihat saja, gagasan progressif sejumlah pemuda Indonesia di negeri Belanda yang mendirikan Indische Party bergulir bagaikan air bah menyadarkan kelompok pemuda dan mahasiswa yang lain. Saat itu, organisasi kaum muda dan massa tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, menyambut konsep gagasan nasionalisme Indonesia yang di lontarkan oleh kaum muda. Lahirnya sumpah pemuda tahun 1928 merupakan salah satu stage dari perjalanan kebangkitan kaum muda Indonesia dalam membebaskan bangsanya. Boleh dikatakan bahwa kaum mudalah sebagai sang pelopor, bahkan karena semakin menonjol, Benedict Anderson(1972) menyimpulkan bahwa jiwa revolusi indonesia adalah kaum muda.

Contoh paling konkret soal kepeloporan kaum muda dalam masa awal revolusi adalah peristiwa rengasdengklok yang melahirkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Peristiwa ini di latar belakangi oleh perbedaan pendapat antara tokoh muda dan tokoh tua soal kemerdekaan Indonesia. Bagi tokoh muda yang sebagian besar dari kelompok Asrama Menteng 31, bahwa kemerdekaan Indonesia haruslah hasil perjuangan rakyat Indonesia, bukan hadiah pemberian Jepang. Bagi kaum Muda, kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur raya dan pasifik adalah ruang terbuka untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan bagi tokoh tua, dalam hal ini Soekarno-Hatta bahwa “kita tidak boleh gegabah dengan mengambil tindakan radikal melawan pemerintah Jepang, dan lebih baik menunggu janji kemerdekaan dari Jepang, lewat Lembaga PPKI dan BPUKI. Kaum muda kemudian menculik Soekarno, dibawa kesebuah tempat bernama rengasdengklok, di tempat itu kaum muda meminta Soekarno (atas nama bangsa Indonesia) agar segera membacakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Kejadian diatas di minimalkan, dan dikaburkan dalam penulisan sejarah Indonesia sekarang. Sehingga, banyak orang tua yang lupa bahwa sebenarnya bangsa dan negara yang bernama Indonesia, yang merayakan kemerdekaan tiap tanggal 17 Agustus adalah merupakan hasil perjuangan kaum muda.

Sangat penting melihat posisi kaum muda dalam konstalasi sejarah republik ini, sebab dari titik ini kita bisa menyimpulkan orientasi dan tindakan politiknya adalah merupakan upaya penyelesaian problem-problem pokok rakyat Indonesia. Setiap gagasan perubahan mesti memiliki orientasi dan tindakan politik yang berpihak kepada rakyat, ketiadaan orientasi dan tindakan politik yang jelas malah mengarahkan gerakan kaum muda pada ambiguitas. Sejarah Indonesia,memperlihatkan rekaman-rekaman tindakan politik mahasiswa sangat jelas keberpihakannya.

Penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi dan tindakan politik kaum muda dalam proses dinamika sejarah Indonesia. Setidaknya untuk membuktikan, sekaligus memilah tindakan politik mana dalam patokan sejarah yang betul-betul menunjukkan bentuk perjuangan kaum muda yang genuine. Karena seperti yang di katakan oleh Bung Karno (di Bawah Bendera revolusi) bahwa gerakan mahasiswa harus lahir dari rahim ibu kandungnya sendiri: Ibu Pertiwi. Faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi dan tindakan politik gerakan kaum muda adalah: pertama pilihan ideologi perjuangan sebagai arah/petunjuk orientasi cita-cita ideal pergerakan kaum muda. Ideologi merupakan pijakan bertindak, ibarat obor dalam kegelapan yang menuntun arah dari perjuangan kaum muda itu sendiri. Lebih jauh, pemahaman ideologis juga bermakna pemahaman teoritik dan praktek soal jalan keluar dari problem ekonomi-politik yang dialami oleh rakyat. Kedua lingkungan sosial dan politik, kalau gerakan mahasiswa tidak memiliki pijakan ideologis yang kuat maka kesadaran mereka sangat di tentukan dengan kosntalasi kehidupan sosial politik sekitarnya. Kenyataan menunjukkan kebangkitan kaum muda dan mahasiswa di dorong oleh keadaan sosial-politik di sekitarnya. Awalnya hanya dalam bentuk protes-protes kecil namun ketika di tanggapi oleh penguasa dengan represif, maka dengan cepat berubah menjadi gelombang protes sosial bahkan berubah menjadi proses revolusioner. Pengalaman Mahasiswa Korea, mahasiswa tidak menerima perlakuan aparat kepolisan terhadap demonstrasi buruh menuntut perbaikan kondisi kesejahteraan. Mahasiswa melakukan mobilisasi dan aliansi dengan pekerja, perlawanan ekonomi dan solidaritas berubah menjadi sentimen anti terhadap rejim yang diktator. Di Indonesia, Watak dan karakter rejim Orde baru yang sangat militeristik dan tidak berpihak kepada rakyat mendorong protes-protes mahasiswa. Ketika, rejim Orde Baru merespon dengan menggunakan kekerasan militer, gerakan mahasiswa berubah menjadi gerakan politik yang melibatkan massa rakyat menuntut Soeharto turun dari kekuasaannya. Ketiga Pengalaman gerakan kaum muda di negara lain, kebangkitan pemuda-pemuda Indonesia di tahun 1900-an banyak di stimulasi oleh kebangkitan dan kemenangan gerakan kaum muda di negara lain. Gerakan mahasiswa tahun 1966, sangat dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara Imperialis untuk menghentikan komunisme di Indonesia. Karena keberadaan PKI, yang makin kuat dalam hal politik(dekat dengan soekarno) dan mobilisasi menjadi ancaman terhadap aset-aset dan terutama kepentingan negara-negara Imperialis di Indonesia. Dan ini, bisa di buktikan dengan dokumen CIA yang baru di terbitkan soal keterlibatan CIA dalam kudeta militer di Indonesia, dimana kelompok mahasiswa menjadi salah satu agen sipilnya untuk melumpuhkan kekuasan soekarno dan kaum kiri. Itulah kenapa sastrawan Premoedya Ananta Toer tidak mau mengakui angkatan 66 sebagai salah satu stage dalam perjuangan mahasiswa.

Menimbang “Kemampuan/Capable” Kaum Muda untuk memimpin

Argumentasi pokok dari kelompok yang tidak yakin dengan kemampuan kaum muda dalam mengambil alih kepemimpinan nasional negeri ini adalah bahwa Kaum muda sekarang sangat lemah semangat patriotismenya, dan rendah “moralitas”, dan argumentasi yang sifatnya psikologis bahwa kaum muda adalah kelompok umur yang masih labil, plin-plan, dan cenderung mengutamakan emosional. Landasan argumentasi dari alasan diatas sangat lemah dan tidak berdasarkan basis material yang jelas. (1). Bahwa sebenarnya problem bangsa sekarang adalah bukanlah problem moral, dan untuk menyelesaikannya pun bukan dengan berkhotbah soal moralitas. Malah persoalan moral sekarang sangat efektif untuk meredam dan memanipulasi kesadaran rakyat untuk mnerimo dengan situasi. Problem kebangsaan sekarang adalah problem ekonomi-politik, akibat dari pola kebijakan rejim yang berkuasa tidak pernah berpihak kepada kepentingan rakyat. Kalaupun di katakan moral ini juga absurd! Karena terbukti moral generasi lebih tua tidaklah lebih baik. (2). Patriotisme tidak bisa di ukur dengan formalitas bahwa kita harus ikut ke medan perang, setia sampai akhir dengan merah putih, atau rajin upacara bendera. Patriotisme terbentuk berdasarkan lingkungan sosial dan politik pula, dan sudah barang tentu kesadaran patriotisme manifes dalam bentuk yang berbeda. Di jaman revolusi nasional, karena persoalan pokoknya adalah melawan penjajahan fisik maka bentuk manifestasi patriotismenya adalah mengangkat senjata. Di jaman sekarang, karena problem kemiskinan dan kesengsaraan datang dari bangsa sendiri maka protes dalam bentuk aksi massa yang marak hari ini adalah bentuk patriotisme baru rakyat Indonesia. (3) bahwa alasan umur ataupun perkembangan kejiwaan tidak bisa dijadikan patokan untuk ukuran seseorang “capable” atau tidak untuk memimpin. Karena sekali lagi, kepemimpinan politik hanya butuh dua syarat yakni dukungan politik yang luas dan kemampuan personal (kemampuan skill dan pemahaman ekonomi-politik). Dan menurutku syarat-syarat itu sama sekali tidak terkait dengan umur, meskipun pengalaman mempengaruhi. Seorang berumur 24 tahun belum tentu kalah cerdas dan kalah kemampuan dengan orang berumur 45 tahun.

Reformasi tahun 1998, telah menjadi investasi baru bagi kebangkitan kembali gerakan kaum muda dan mahasiswa Indonesia. Kaum muda dan mahasiswa yang hanya bersenjatakan pena telah berhasil merobohkan sebuah rejim yang sangat kuat dan kokoh; rejim Orde Baru. Sejak Juli 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut. Krisis ekonomi ini serta desakan IMF untuk reformasi ekonomi membuat Orde Baru tersudut. Bahkan hingga Sidang Umum MPR Maret 1998 tidak ada perbaikan kehidupan yang memicu kemarahan rakyat.

Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:
Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).

Namun, meski berhasil menjatuhkan sebuah kedikatoran yang kokoh, gerakan mahasiswa tahun 1998 bukan tanpa kelemahan dan cacat. Salah satu point paling hangat diantara perdebatan yang muncul pada saat itu adalah soal kepemimpinan nasional dan bagaimana pokok-pokok tugas perjuangan mahasiswa Indonesia selanjutnya. Setidaknya perbedaan pandangan ini secara umum bisa di tarik dalam dua garis pandangan yakni gerakan moral dan gerakan politik. Kelompok gerakan moral yang kebanyakan dari unsur Cipayung (HMI, PMII,GMKI, PMKRI,GMNI,IMM) dan kelompok BEM (badan Eksekutif Mahasiswa) menganggap bahwa tugas gerakan mahasiswa telah selesai. Bagi mereka, tugas pokok hanyalah menjatuhkan soeharto dan setelah itu eksekusi/penyelesaian akhirnya di serahkan kepada tokoh politik/politisi. Kelompok inilah yang banyak menyokong Amien Rais, Gusdur, dan Megawati muncul dalam panggung politik paska Orde Baru. Tugas mahasiswa kembali ke kampus (Back to Campus) dan sesekali keluar ketika di butuhkan, untuk mengawal reformasi bisa berjalan konsisten. Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.

Kelompok kedua beranggapan bahwa jatuhnya soeharto hanyalah salah satu tahapan dari perjuangan mahasiswa. Tugas selanjutnya adalah menghancurkan sisa-sisa Orde baru dan melapangkan jalan bagi terwujudnya demokrasi sejati. Untuk menciptakan prasyarat tersebut bagi kelompok gerakan politik adalah menciptakan pemerintahan transisi demokratik yang mencerminkan semua kekuatan prodemokrasi dan unsur-unsur gerakan rakyat. Usulnya beranekaragam misalnya Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dengan konsep “Pemerintahan Koalisi Oposisi Demokratik Kaum Muda dan Rakyat Miskin”, Forkot dengan Komite Rakyat Indonesia (KRI), dan FAMRED dengan Dewan Rakyat. Kelompok ini menolak Habibie (pengganti Soeharto) karena menurut mereka masih kelanjutan dari sistem politik Orde Baru, dan menganggap yang berubah hanya orangnya namun karakter, watak, dan cara-caranya masih kental dengan Orde Baru.

Benar, pemilu 1999 yang dilaksanakan di bawah pemerintahan Habibie malah menjadi alat untuk konsolidasi kekuatan Orba. Proses reformasi yang mestinya di perdalam dan di perluas geografinya hingga kepedalaman justru ter-interupsi dengan masih kuatnya sisa-sisa Orde Baru dalam pemerintahan. Disisi lain, tokoh-tokoh reformis yang di percaya sebagian gerakan mahasiswa bisa membawa menuntaskan reformasi malah mengambil jalurnya sendiri. Pemerintahan Gusdur meskipun punya komitmen kuat mengadili Soeharto dan kroninya, namun tindakan politiknya ambigu sehingga membuat kekuatan pro-orde baru bisa mengkonsolidasikan diri dan menyusun “Impeachment” terhadap pemerintahannya. Gusdur di gantikan Megawati (di belakangnya adalah kekuatan Orde Baru), proses penuntasan reformasi semakin di tarik ke titik Nol. Megawati sejak jadi presiden sangat agressif dalam menjalan agenda neoliberalisme seperti pencabutan subsidi, liberalisasi impor, dan privatisasi BUMN yang berimbas pada keterpurukan ekonomi nasional. Pada titik ini, muncul kekecewaan dan rasa tidak puas massa rakyat terhadap arah reformasi yang tidak berjalan konsisten. Proses politik paska reformasi pun menggelinding di lingkaran elit politik baru maupun lama, demokrasi dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan rakyat.

Saatnya Kepemimpinan Nasional di tangan Kaum Muda

Reformasi sebetulnya belumlah gagal total, karena beberapa aspek kemenangan menjatuhkan rejim orde baru, diantaranya: keterbukaan ruang demokrasi (space Of Democracy) meskipun masih dalam pengertian yang minimum masih bertahan. Menurutku disinilah letak kesalahan kaum muda dan gerakan mahasiswa paska reformasi, tidak mampu memanfaatkan ruang politik yang sedikit terbuka untuk masuk kedalam politik real dengan membawa agenda demokrasi dan program kerakyatan di dalamnya. Pemilu 1999, yang merupakan titik balik dari gerakan kaum muda dan mahasiswa justru di lewatkan begitu saja. Mayoritas kekuatan kaum muda masih menganggap arena pemilu sebagai arena yang tidak boleh di manfaatkan karena terlalu politis dan malah bisa menceburkan gerakan kaum muda dalam politik kotor. Padahal esensi mengintervensi ruang pemilu sebenarnya tidak lebih untuk menggempur dominasi politisi tua yang sudah terbukti gagal, dan mengolah ruang tersebut untuk lahirnya sebuah kekuatan politik alternatif.

Gerakan kaum muda dan mahasiswa saat ini masih di kuasai prasangka heroisme (baca;Advonturir) sehingga cenderung terjebak pada penyakit kekiri-kirian. Pandangan mendikotomikan ruang ekstra-parlementer dan parlementer adalah sebuah bentuk lain dari kesalahan gerakan mahasiswa memandang ruang politik real. Akibatnya, gejala menjadi aktivis muda dan mahasiswa hanya semasa masih muda, atau semasa menjadi mahasiswa. Setelah itu, aktivis-aktivis ini melakukan diaspora (menyebar) ke berbagai bidang pekerjaan dengan afiliasi politik yang sangat fragmentatif. Sekarang kita bisa melihat banyak mantan aktivis yang menduduki pos-pos jabatan di partai politik besar, jabatan di pemerintahan, atau ormas. Tetapi, mereka sama sekali tidak lagi merefresentasikan pandangan politik waktu semasa menjadi aktivis, karakter dan jiwanya lebih mirip dengan elit baru dalam kekuasaan.

32 tahun kekuasaan Orde baru telah menghancurkan semua tradisi politik dan gerakan yang ada dalam rakyat Indonesia termasuk kaum muda. Akibatnya tidak ada satupun organisasi pemuda yang mencerminkan kepentingan politik kaum muda, kebanyakan di isi oleh orang-orang yang segi umur bukan muda lagi. Lihat saja Yapto Suryosumarno tokoh Pemuda Pancasila (kelahiran 16 Desember 1949), atau KNPI, BMI, GP-ANSOR, dan lain-lain kebanyakan Ormas kepemudaan tersebut di pimpin generasi tua yang meniti karir untuk partai. Organisasi yang betul-betul merefresentasikan kepentingan dan perjuangan kaum muda kebanyakan organisasi mahasiswa, namun pandangan politik mereka sangat lemah. Kebanyakan organisasi-organisasi tersebut di bentuk untuk memenuhi kepentingan partai mendapatkan konstituen di kalangan kaum muda (yang sudah bisa memilih), dan kadang-kadang di jadikan alat pertahanan (defensif Unit) untuk partai atau memukul kelompok lain.

Sebenarnya ada beberapa problem pokok gerakan kaum muda yang harus di selesaikan sebagai salah satu stage menuju konsolidasi kekuatan yang lebih kuat; pertama problem ideologi, yakni lemahnya pemahaman akan orientasi perjuangan kedepan. Kebanyakan organisasi mahasiswa dan pemuda yang ada sekarang masih di dominan pendekatan emosional, bukan pendekatan ideologis. Kedua problem organisasional, sampai saat ini belum ada organisasi pemuda mahasiswa secara nasional yang bisa menyatukan semua ormas pemuda dan mahasiswa. Di Indonesia, akibat pengaruh depolitisasi dan deorganisasi jaman Orde baru selama puluhan tahun, sekarang kita menyaksikan pemilahan yang kuat antara mahasiswa, pelajar (SMU), dan pemuda (non-SMU/mahasiswa). Tentunya, ini sangat menghambat pengorganisasian, dan proses kaderisasi dan penguatan ideologi perjuangan karena variasi pengetahuan. ketiga fragmentasi gerakan yang masih amat kuat di kalangan kaum muda, tidak ada upaya konsolidasi nasional yang sifatnya massal dan melibatkan semua ormas pemuda/ mahasiswa. Keempat masih sangat kaku dalam melihat momentum politik, misalnya momentum pemilu, pemilihan kepala daerah langsung (pilkada), dan lain-lain. Sehingga sangat susah untuk menemukan arena lain untuk menggusur generasi tua di luar mekanisme formal elektoral tersebut.

Bagaimana dengan perspektif kedepan? Sebenarnya situasi politik saat ini dan problem yang dialami oleh rakyat Indonesia mengharuskan kaum muda harus tampil kedepan, dengan landasan;(1) Bahwa rakyat sudah tidak percaya dengan formasi elit politik saat ini yang dinilai sudah gagal menciptakan perubahan. Krisis kepemimpinan ini jika tidak dimanfaatkan oleh kaum muda, malah bisa berbuntut oligarkhi politik, maksudnya adalah bahwa sistem politik sekarang di monopoli kekuatan tertentu yang berkuasa bukan karena dukungan rakyat melainkan karena faktor modal dan kekuasaan. (2). Ruang politik kedepan harus di manfaatkan, harus di olah oleh gerakan kaum muda, di kombinasikan dengan gerakan ekstra-parlementer(parlemen jalanan) untuk memperoleh dukungan kuat dari rakyat. Menurut Alan R.Ball (1993), kumpulan pendesak merupakan agregat sosial dengan tahapan yang padu serta berkolaborasi untuk tujuan yang sama yang pada akhirnya dapat mempengaruhi proses membuat keputusan politik. (3). Bahwa untuk kepentingan menciptakan kekuatan politik alternatif, gerakan pemuda-mahasiswa tidak perlu membentuk Partai pemuda yang isinya semua pemuda. Karena malah menyempitkan dukungan politik rakyat, lagipula tidak ada rumus perubahan dimanapun yang mengajarkan bahwa suatu sektor bisa berkuasa tanpa dukungan sektor lainnya. (4). Bahwa dalam menggagas kekuatan politik baru ini, gerakan mahasiswa dan pemuda harus membangun aliansi strategis dengan sektor rakyat yang lain seperti petani, buruh, pegawai rendahan, kaum miskin kota, pekerja seni, dan perempuan. (5) menyusun program –program perjuangan strategis yang merupakan solusi atau jalan keluar dari problem-problem pokok yang di alami oleh rakyat Indonesia sekarang ini. Misalnya untuk mengatasi kemiskinan, program kita adalah menghentikan proyek neoliberalisme yang saat ini sangat massif di jalankan, menggantikannya dengan program ekonomi kerakyatan. Semaksimal mungkin program-program yang di usung mencerminkan tuntutan mendesak/darurat rakyat; seperti pendidikan dan kesehatan gratis, turunkan harga-harga, dan lain-lain.